Untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di tanah kelahiran Mahatma Ghandi, India. Tiba di Hyderabad pada tanggal 24 Juli 2014 dan tinggal beberapa hari di sana membuat saya bersyukur ketika akhirnya tiba di kota Mangalore, tempat saya akan belajar dan menimba ilmu. Kota Mangalore terletak di bagian India barat yang berbatasan langsung dengan laut Arab masuk dalam State Karnataka, India.
Ketika pertama kali datang kemari saya terkagum-kagum dengan pemandangan alamnya terutama ketika melewati pesisir pantai selama perjalanan saya dari Hyderabad menuju Mangalore dengan kereta. Secara geografis kota ini sangat sejuk dibanding Hyderabad yang saya rasa sangat panas. Di sini kurang lebihnya mirip dengan di Salatiga, hijau, rindang, sejuk dan kerap kali hujan karena kebetulan saya datang waktu musim mansun (musim hujan).
Terlebih kota ini lebih bersih dibanding kota-kota yang saya lihat selama perjalanan, menurut sumber di India, Mangalore termasuk kota terbersih ke dua se India. Dari stasiun Mangalore saya dijemput oleh staf dari universitas yang kebetulan mereka adalah mahasiswa PhD di English Department of Mangalore University. Mereka berbagi cerita tentang pengalaman mereka belajar di Mangalore University dan menunjukkan beberapa tempat di Mangalore.
Mangalore university sendiri terletak agak jauh dari jantung kota Mangalore, tepatnya berada di Mangalagangothri, Konaje, salah satu district di kota Dakshina Kannada, Karnataka State, India. Kesan pertama datang ke Mangalore University adalah Universitas yang bersih, rindang, dan sepi karena letaknya yang jauh dari pemukiman warga, lebih tepatnya seperti di tengah hutan. Setiap fakultas atau block terletak berdekatan satu sama lain hanya dipisahkan oleh jalan dan taman-taman.
Kesan pertama saat melihatnya bangunannya Universitas ini bisa dibilang cukup modern. 1 Agustus 2015, hari pertama saya masuk kelas dan masuk kuliah. Hal yang ada di benak saya adalah lingkungan di sekitar kelas. Fasilitas terutama. Yang ada hanyalah bangku semacam bangku SMA di Indonesia, tidak semacam bangku kuliah seperti di IAIN Salatiga. Tidak ada white board yang ada hanya black board, satu meja dan kursi untuk dosen serta 1 rak buku di pojokan kelas. Perlu dicatat bahwa dikelas baru saya ini tidak ada whiteboard, wifi maupun LCD projector seperti di IAIN Salatiga.
Dalam benak saya, ini 2015 tetapi pendidikan disini masih memakai fasilitas konvensional. ini seperti mundur dua atau tiga tahun ke belakang. Sebelum datang ke India saya berharap bisa belajar banyak hal, termasuk sistem pembelajaran di India yang mungkin bisa di adopsi untuk diterapkan di Indonesia. Jadi harapan dan angan-angan saya sudah terlanjur tinggi dan ketika datang dengan fasilitas yang seperti ini tentulah kesan pertama saya masuk kelas adalah shock dan sedikit kecewa.
Beranjak dari secuil gambaran tentang kondisi kelas di sini, saya akan beralih pada orang-orang yang saya temui. Teman sekelas saya dan juga para professor yang akan mengajar saya. Pertama kali saya masuk kelas saya di perkenalkan oleh Prof. Ravinshakar Rao yang merupakan Directure of English Department sekaligus Directure of International Students of Mangalore University. Beliau adalah sosok bapak yang mengayomi dan membantu saya dan juga mahasiswa internasional lainnya disini.
Dari mulai kedatangan, tempat tinggal dan thethek bengek administrasi lainnya beliaulah yangbertanggung jawab dan banyak membantu kami. Oke kembali ke kelas. Saya melihat wajah-wajah khas India, berkulit agak gelap, rambut ikal, dan berhidung mancung. Hanya ada segelintir mahasiswa laki-laki disini dari total 32 mahasiswa hanya ada 8 anak selebihnya perempuan dan semuanya memakai baju khas India yang kemudian saya tahu namanya Kurtha.
Wajah mereka terbilang sangat muda dan benar saja ketika saya tanya usia mereka baru sekitar 20-21 tahun. Usia yang masih sangat belia untuk mahasiswa Post Graduate bila mereka di Indonesia. Namun begitulah di India, jadi mereka menyelesaikan Under Graduate hanya dalam waktu 3 tahun, tidak seperti di Indonesia yang rata-rata 4 tahun baru selesai S1. Jadi disini saya berasa paling tua sendiri.
Namun 1 hal yang perlu digaris bawahi disini, mereka sangat ramah dan baik. Mereka dengan antusias mengajak saya ngobrol tanya ini itu. Jadi menurut penuturan beberapa mahasiswa Indonesia yang di India ini, orang-orang India selatan dan barat merupakan orang yang terkenal sangat ramah, jadi beruntunglah saya berada di tempat ini. Apakah saya bisa mengerti sepenuhnya bahasa mereka? Jawabannya, 50 % saya mengerti selebihnya masih perlu penafsiran dan klarifikasi.
Mereka berbahasa Inggris dengan baik, namun dengan aksen khas India yaitu “t” yang tebal dan logat khas India yang sedikit susah di pahami. Selain itu mereka disini kebanyakan berbahasa daerah yaitu Kannada (bukan Canada di Amerika utara lo ya), region language of Mangalore. Setelah saya ketahui ada ribuan bahasa daerah di India ini. Jadi kalau mau belajar bahasa di India mending Hindi saja yang merupakan native language mereka atau cukup Inggris sajalah.
Perkuliahan disini dimulai sejak pukul 10.00 hingga pukul 16.00 dengan waktu istirahat makan siang pada pukul 13.00-14.00. 1 mata kuliah akan di ajarkan dalam waktu 60 menit setiap harinya dari mulai Senin hingga Jum’at. Jadi Sabtu dan Minggu jatah saya liburan. Tidak ada kebebasan dalam memilih jam kuliah dan professor yang akan mengajar kita seperti di IAIN Salatiga. Disini, terutama di English Department hanya ada 5 professor yang saya ketahui yang akan saya temui setiap harinya.
5 beban mata kuliah, 5 jam pelajaran, 5 dosen, 5 hari dalam seminggu selama 4 bulan kedepan. Jadi kalau di total semuanya, ada 400 jam kuliah selama 1 semester. Berapa kali pertemuan? Ya 5 kali dalam seminggu untuk masing-masing mata kuliah, jadi 80 kali pertemuan untuk 1 mata kuliah dalam 1 semester dengan dosen yang sama. Oh my God. Trus apa saja yang di sampaikan dosen tiap harinya? Well, ini problem saya selanjutnya.
Dari kelima professor yang masing-masing akan mengampu mata kuliah yang berbeda ini, 3 di antaranya dapat saya pahami dengan baik karena bahasa Inggris mereka sangat baik. Bahkan 1 proffesor saya merupakan lulusan Oxford University, untuk under graduate, post graduate dan sekaligus Phd disana. Bahasa Inggrisnya, jangan ditanya, very well pronounciation without any Indian logat. Saking bagusnya dan hampir hapal semua kosa kata bahasa Inggris, kami menyebutnya Dictionary sir.
Dua di antara kelima professor saya mohon maaf, saya tutup telinga, Indian English. mereka berbicara bahasa Inggris dalam logat India dan kadang dicampur bahasa daerah. Berapa persen yang bisa saya tangkap dari pembicaraan mereka selama 1 jam belajar? Mungkin hanya 30 %. Jujur saya mengalami kesulitan dalam bahasa ketika pertama kali belajar disini. Di Indonesia saya jarang sekali praktek berbahasa Inggris dan disini 100% full English.
Jadi pertama kali kuliah disini, saya merasa sedang mendengarkan orang ceramah pakai bahasa elien. Gak mudeng sama sekali. Untuk komunikasi saya masih mudeng sejauh ini namun untuk perkuliahan, haduh masih perlu adaptasi apalagi dengan aksen dan logat khas India nya. Selama perkuliahan di kelas, dosen atau professor hanya akan memberikan gambaran dan penjelasan mengenai materi yang bersangkutan selebihnya mahasiswa mendengarkan dan mencatat.
Menurut saya hal yang perlu dibenahi di English department di IAIN Salatiga adalah speaking Englishnya, karena bagaimanapun nantinya lulusan English Department haruslah mumpuni dalam menggunakan bahasa Inggris. Karena sejauh yang saya tahu jarang sekali mahasiswa kita di IAIN Salatiga yang PD speaking English, entah karena takut salah ataupun karena tidak ada partner bicara. Akan lebih baik jika mahasiswa disana di ajak untuk speaking English setiap harinya.
Sistem pembelajaran di Mangalore University menerapkan sistem pembelajaran ‘self learning’. Jadi mahasiswa dituntut untuk belajar mandiri dan tidak mengandalkan materi kuliah yang diberikan dosen di kelas. Untuk memfasilitasi sistem belajar mandiri ini, Mangalore university memberikan fasilitas perpustakaan yang luas dengan ribuan koleksi buku. Selain itu juga tersedia layanan wifi gratis dengan kecepatan dewa, dengan catatan semua situs media social inaccessible.
Jadi tidak ada penyalahgunaan layanan wifi untuk membuka situs-situs media sosial yang cenderung tidak bermanfaat dan menghabiskan waktu. Ditambah lagi layanan cyberlab yang bisa di akses kapan saja untuk mencari materi kuliah, jurnal ilmiah dan lain sebagainya. Sehingga, kedatangan dosen di kelas hanyalah memberikan klarifikasi tentang materi yang kurang jelas. Namun, ada hal menarik ketika dosen masuk ataupun keluar kelas mahasiswa akan berdiri untuk memberikan rasa hormat.
Dosen juga tidak basa-basi untuk mengucapkan greeting kepada mahasiswa, langsung to the point. Jadi system belajar ‘self learning’ ini menurut saya sangat membantu mahasiswa untuk belajar, karena siswa akan benar-benar belajar demi kebutuhan mereka sendiri. Kesadaran akan independent learning inilah yang saya rasa perlu di contoh untuk meningkatkan mutu dan kualitas pembelajaran di Indonesia.
Endang Sartika, S.Pd.I. (Cand.) MA English
No comments:
Post a Comment
Komen Anda akan melalui tahap moderasi oleh admin (Your comment is under moderation)